Senin, 12 Januari 2009

Oleh oleh Pulkam (pulang kampung)


Tak hanya di Batam, di semua tempat di Republik ini sekarang lagi meriah dengan persiapan Pemilu yang akan dilaksanakan bulan April 2009 ini.
Baru saja saya dan keluarga pulang ke kampung halaman di Sidamanik dalam rangka merayakan Natal dan Tahun Baru bersama orang tua tercinta. Saya menghabiskan jatah cuti saya selama 12 hari di kampung halaman dengan "raun raun" ke tempat yang saya sudah rencanakan jauh jauh hari. Tidak ketinggalan mengunjungi Ibukota Kabupaten Simalungun yang baru: "Raya" yang jaraknya kira kira 40 km dari Pematang Siantar.
Saya juga pergi ke Pangururan ibukota kabupaten Samosir, ke Kabanjahe ibukota kabupaten Karo, dan yang pasti berkunjung juga ke kota Medan. Puas dan melelahkan.
Selama perjalanan liburan ini, hanya satu saja yang menjadi ganjalan di pikiran saya, yaitu banyaknya umbul umbul, spanduk, baliho para calon legislatif (caleg) sepanjang kiri kanan jalan, yang selain semrawut penempatannya, juga menjadi hiburan tersendiri buat saya dan keluarga. Kenapa jadi hiburan? Kadang saya dan keluarga sering tertawa bila melihat gambar para caleg yang terpampang di Baliho ataupun spanduk yang mereka pajang. Berbagai macam bentuk ekspresi wajah para caleg ini yang banyak mengundang joke segar sepanjang perjalanan. Ada yang tersenyum dengan sumringah lengkap dengan pakaian adat, ada juga yang ekspresinya tegang, terkesan garang, bahkan ada juga yang berekspresi seperti menangis.
Yang saya tidak bisa lupa adalah saat Bapak saya mengomentari Foto caleg perempuan dari Partai gurem (saya lupa nama partainya), tiba tiba bapak saya bilang :" bah, songon namuruk do huida fotoni itoan on". Refleks kami menoleh gambar yang terpampang secara jelas di kiri jalan, memang ekspresi caleg perempuan ini sangat kaku ( bisa dibilang sangar). Menurut Bapak saya, mungkin caleg perempuan ini sedang memikirkan modal kampanyenya saat hendak difoto. Kemungkinan si caleg sudah pontang panting cari pinjaman modal, bahkan rumahpun sudah tergadai demi mulusnya pencalonan. Makjang...!
Memang luar biasa ambisi dan minat masyarakat Sumatera Utara sekarang untuk terjun ke dunia politik ini. Sangkin berminatnya, menurut para anggota parlemen Pakter Tuak di Sidamanik, banyak para caleg ini yang tiba tiba muncul menjadi politikus dadakan. Ada mantan kernet (kondektur) bus, pedagang pakaian rojer (rombengan jerman), parmitu (anggota kedai tuak), pendeta, preman kampung, raja parhata adat, tengkulak, bahkan janda kembang dan banyak lagi. Di satu sisi, saya pribadi menyambut gembira kenyataan ini. Berarti kesadaran warga kampung saya akan hak politiknya sudah cukup bagus. Di lain sisi saya juga sebenarnya prihatin. Bagaimana mungkin orang orang yang berani maju menjadi caleg ini bisa menjadi wakil rakyat. Memang untuk sekedar mematuhi kuota caleg, banyak partai yang asal comot saja terhadap calegnya tanpa memandang dan menilai kualitas si caleg. Yang membuat hati saya semakin miris, banyak diantara caleg ini sebenarnya hanya memiliki modal materi yang pas pasan tetapi berani maju dengan menjual ataupun menggadaikan hartanya. Bukankah ongkos politik itu mahal? Kalau harta yang dia cari untuk dijual masih wajar, nah kalau harta warisan yang dijual? Alamat jadi anak durhaka.
Menurut bapak saya, tidak heran nanti bila Pemilu sudah usai maka akan banyak orang simalungun yang berangkat berobat ke Penang Malaysia untuk berobat karena terserang stroke atau jantung. Kalau ternyata mereka tidak terpilih atau kalah saat Pemilu, bisa jadi banyak dari antara mereka yang akan jadi pesakitan karena memikirkan kerugian. Sudah ngutang, jual harta habis habisan tak menang pulak, jantungpun bisa berhenti mendadak. Sekarang memang lagi trend bagi orang Simalungun untuk pergi berobat ke Penang. Sayapun sebenarnya kurang tahu persis alasannya kenapa harus ke Penang. Apakah memang karena standart pelayanan medis yang kurang memadai di Indonesia, atau memang karena kemampuan ekonomi mereka sudah mantap, atau karena memang sekalian mau raun raun juga.
Selama di kampung halaman saya juga menyempatkan diri melihat pusat pemerintahan kabupaten Simalungun di Pematang Raya. Memang sarana perkantoran yang dibangun cukup megah dan bisa dibanggakan. Tetapi dibalik itu semua, saya juga melihat ketidakberesan dan ketidaksiapan warga dan pemerintah kabupaten Simalungun dalam membangun daerahnya. Jalan raya yang menghubungkan kota Pematang Siantar ke Raya hanya mulus separuh tempuh saja, berhenti sampai Panei tongah. Mungkin ini karena kemarin Presiden SBY berkunjung ke Panei tongah untuk Panen Raya. Jadi paling tidak SBY tidak akan merasakan betapa keritingnya jalan yang harus dia lalui. Dalam artian, pak Bupati Simalungun T.Zulkarnain Damanik, ABS saja (asal bapak senang).
Mulai dari Panei Tongah sampai ke Raya dan Tigarunggu, jalan rayanya hancur. Tidak mencerminkan bahwa disanalah letak ibukota Kabupaten Simalungun. Masyarakatnyapun terkesan tidak siap menerima perubahan ini. Kebetulan adik saya berkantor di sana, dan menurut adik saya, displin pegawai semakin berkurang karena hampir 80 % terlambat masuk kantor. Dari jalan raya, lokasi kantor seluruh dinas jawatan masih harus ditempuh sekitar 2 km. Sebenarnya ada akses pintas, tetapi penduduk lokal melarang para pegawai untuk melewatinya, supaya para abang ojek (RBT) dan abang Becak bisa dapat penumpang dengan tarif yang tak bisa kompromi.
Di Samosir dan Tanah Karo pun hampir tidak ada perubahan. Sia sia rasanya otonomi daerah ini bila hanya menjadi ajang untuk melahirkan raja raja kecil yang baru. Jalan raya sungguh sangat memprihatinkan. Mulai dari Tongging sampai Tigapanah Karo, jalanan juga keriting. Dari Merek sampai Sumbul Dairi, hancur. Yang mulus hanya dari Tomok Samosir sampai Pangururan. Jalanan yang ada di atas pulau Samosir (kampung oppung saya) nyaris seperti sungai kering. Sebenarnya kalau pemerintah mau, jalan yang jelek ini bisa dijadikan ajang off road. Selain menjadi agenda wisata, effectnya kepada masyarakat pasti terasa. he he he.
Itulah sedikit cerita perjalanan saya pulang kampung ke Bona ni Pinasa, masih banyak lagi sebenarnya yang perlu diceritakan, tetapi tunggulah pasti akan saya tuliskan lagi.

Batam, 14 Januari 2009
Juli Abet Simbolon



4 komentar:

  1. naek hoda atei :sijabat

    BalasHapus
  2. Iya appara / sanina,
    Ini di Gundaling Berastagi, saat liburan pulkam kemarin. Terimakasih sudah berkunjung ke sini.

    Salam hangat,
    Juli Abet Simbolon

    BalasHapus
  3. Hai Juli,
    Saya pikir cuma Eben dan Eddy blogger dari Sarimatondang, rupanya ada lagi yang lain.
    Kenal saya kan? Abang sikahanan Elwin Sinaga. Bapak dulu teman sekelas saya semasa di SMP Sarimatondang.
    Tolong diinformasikan kalau masih ada blogger yang lain.

    BalasHapus
  4. horas bang simbolon.....membaca cerita abang hatiku sangat tergugah hanya disayangkan aku bukan pejabat pemerintah yang berkompeten terhadap kepedulian sarana dan pasaran seperti jalan raya yang notabene sebagai penghubung antar daerah di sumatera utara.....pasti kita sepakat ketika petinggi pemerintahan memperhatikan sarana yg amat fital yaitu berupa jalan tadi....hemmm kebetulan nama saya zoel sembiring kembaren..tinggal di kabanjahe....allhamdulillah jalan2 kami disini cukup mendapat perhatian oleh pejabat yg berwenang....hampir seluruh pedesaan di tanah karo telah di aspal hotmix....mengenai jalan yg di tiga panah sekarang dapat kita lihat hampir menyamai jalan di kota medan....dan satu lagi jalan menuju tiga binanga..kini untuk duduk di tepi jalan jg asik karna hampir seluruh tepi jalan di kab karo di tumbuhi oleh bunga2 yang amat cantik2....aku yakin sidamanik yg banyak menumbuhkan sda dan sdm yg...akan maju sedikitlah untuk mencontoh infrastruktur di kab karo....bravo abangda.....saya ingain berkomunikasi lebih lanjut dgn abangda.....Email saya cemerlangkbj@gmail.com

    BalasHapus