Senin, 03 November 2008

Bahasa Indonesia versi anak Siantar


"Woy pinjam dulu keretamu, aku mau raun raun dulu ke Malioboro". Kalimat itu bagi orang yang tinggal di luar Sumatera Utara atau di pulau Jawa pasti akan sangat membingungkan. Apalagi bila disebutkan dengan intonasi yang agak keras. Sudahlah tata bahasanya berantakan , ditambah lagi dengan istilah istilah yang aneh, dijamin orang yang mendengarnya pasti mengerutkan kening. Itulah yang saya alami saat pertama sekali datang ke Yogyakarta tahun 1995 untuk meneruskan sekolah ke perguruan tinggi. Orang kampung seperti saya yang norak dan tidak pernah keluar dari Sumatera Utara tiba tiba harus berbenturan dengan budaya yang baru, yang benar benar masih asing dan tidak pernah ditemukan di kampung saya di Sidamanik. Memang di kampung saya banyak suku Jawa, bahkan hampir 40 % penduduk di kampung saya adalah orang Jawa. Tetapi orang jawa di kampung saya sudah tidak orisinil. Sukunya saja yang jawa, kalau sifat dan karakter sudah hampir mirip orang Batak, karena itu ada istilah PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Bahasa Indonesia yang dipakai sehari-haripun sudah bahasa Indonesia versi Sidamanik.
Bulan pertama saya di Yogya bisa dikatakan hampir setiap hari saya jadi bahan olok olok teman sekampus. Sebabnya ya itu tadi, bahasa Indonesia versi Sidamanik itu. Teman teman banyak yang bingung setiap saya berkomunikasi dengan mereka. Sudahlah penyampaian kalimatnya seperti orang lagi marah, ditambah lagi banyaknya istilah Sidamanik, kadang saya harus menyiapkan tenaga ekstra untuk menjelaskan maksud kalimat saya. Salah satu istilah yang hampir setiap hari saya sebutkan adalah "kereta" (sepeda motor), maklum Yogya adalah kota sepeda motor. Hampir semua mahasiswa yang asli Yogya memakai sepeda motor ke kampus. Dahulu kendaraan favorit penduduk Yogya adalah Sepeda Onthel. Mungkin karena sudah tidak zamannya lagi atau karena faktor keefektivan lambat laun Sepeda Onthel jadi tinggal kenangan, berganti menjadi Sepeda Motor. Uniknya di Jogja, mahasiswa tidak perlu gengsi mau naik sepeda motor merek apapun, bahkan mau naik sepeda motor keluaran tahun 70 an pun mereka suka. Bahkan dosen saya sampai saya tamat masih setia dengan sepeda motor bebek merk Honda keluaran 77.
Benturan budaya dan bahasa yang saya alami hampir setiap hari terjadi selama 1 tahun pertama saya kuliah di Jogja. Sampai suatu hari saya pernah diingatkan sahabat karib saya namanya "wisnutomo" panggilannya Tomy, kalau nanti pinjam keretanya jangan lupa sekalian kembalikan dengan "relnya". Sejak saat itulah saya tobat tidak akan memakai istilah kereta lagi, malu karena nggak tahu mau parkir dimana. Kereta bagi orang Jogja berarti Sepur atau Kereta Api. Nah kalau kereta api mau parkir di Malioboro kan bisa repot kata sobat saya itu. Ada lagi bahasa Indonesia Sidamanik saya yang sering bikin lawan bicara saya penasaran dan bingung . Orang Sidamanik seperti saya sering mengakhiri kalimat yang agak serius dengan kata "kali". Misalnya hebat "kali" kau, dalam "kali" sungai ini. Saya pun sebenarnya heran dengan kata kata ini. Entah darimana asal muasalnya sehingga orang di kampung saya begitu malas untuk mengucapkan "sekali". Dalam sekali sungai ini, itu kalimat yang lebih tepat, daripada kalimat: dalam kali sungai ini. Orang Jogja pasti bingung bin takjub kog bisa orang kampung seperti saya yang kuliah jauh jauh ke Jogja, mengulang kalimat yang maknanya sama. Bukankah Kali sama artinya dengan Sungai? kata kawan saya. Benar juga. Tetapi mungkin itulah budaya dan kebiasaan yang tidak bisa hilang dari saya, sampai sekarang walaupun saya sudah di tanah Melayu, kata Kali ini selalu saya sebutkan setiap berbincang bincang dengan orang lain. Terserahlah orang mau bilang apa, toh aku sangat bangga dengan bahasa khas kampungku itu.
Pernah juga terlintas dalam pikiran saya untuk merangkum istilah bahasa dari kampung saya untuk saya tawarkan kepada orang yang punya niat untuk menjadikannya kamus bahasa, seperti kamus bahasa gaulnya Debby Sahertian itu. Kalau dijadikan sebuah buku kamus, mungkin manfaatnya akan baik bagi siapa saja orang di luar Sumatera Utara yang berminat dan ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang budaya dan kehidupan sosial "Orang Medan" (istilah orang Jogja untuk mahasiswa dari Sumatera Utara).
Di bawah ini ada sebahagian istilah orang Sidamanik yang bisa saya rangkum, mudah mudahan bermanfaat :

Awak = Aku (bagi orang melayu Riau, awak = kamu)
Anggar = Mentang mentang, Sok pamer
Kali = Sangat (kejam kali = sangat kejam)
Libas = Berantas, pukul
Gimbal = Pukul
Recok = Ribut, Berisik
Kereta = Sepeda Motor
Motor = Mobil
Lereng = Sepeda
Pasar = Jalan Raya
Pajak = Pasar tempat berjualan
Pekan = Pasar
Bisloit = Surat pengangkatan, surat keterangan
Ikan = Lauk (daging juga disebut ikan)
Raun raun = Pesiar, tamasya
Main main = Jam Istirahat sekolah
Roster = Shedule pelajaran sekolah
Tre = Coba (mungkin aslinya Try)
Attrek = Mundur
Pinggir = Menyuruh bis berhenti
Anak muda = Jagoan / aktor utama di film (walaupun aktornya Tua pasti tetap disebut anak mudanya siapa?)
Lorong = gang perumahan, wilayah
Kepala lorong = Ketua Rt/Rw
RBT = Ojek (RBT = Rakyat banting Tulang)
Belebas = Penggaris
Pitolot = Pensil / Pulpen
Gerobak = Truk bak terbuka
Geram = Gemas
Mengkek = Manja
Perli = Menggoda wanita
Berendeng = Tetangga
Teh putih = Air putih.
Teh tong = Air Teh tanpa gula.
Ikan sampah = Ikan asin yang terdiri dari banyak jenis.
Sele sele = Kertas buram
Pusing pusing = Muter muter, sama dengan raun raun.
Senget = Gila
Semalam = Kemarin
Cabut = Bolos Sekolah
Masak = Matang
Sporing = Lari dari rumah
Melalak = Ngerumpi, begadang
Tenggen = Mabuk
Emper = Teras
Burjer = Baju bekas (Burjer = buruk buruk jerman)
Tumbuk = Tinju
Makjang = kalimat seru = wah = aduh
Stan = Gaya
Kolor = Celana dalam
Darting = Darah tinggi, emosi, marah
Mentel = Genit
Hoga hoga = Berhura hura

Itu masih sebahagian saja yang bisa saya tuliskan, sebenarnya masih banyak lagi istilah anak Sidamanik yang bisa menambah kekayaan perbendaharaan kata Bahasa Indonesia.


Batam, 4 November 2008
Juli Abet Simbolon




Senin, 06 Oktober 2008

SIDAMANIK rindu aku padamu!!!

Mungkin banyak orang yang tidak tahu kalau kampung saya, tanah kelahiran saya yang tercinta adalah sebuah desa yang indah. Letaknya hanya sekitar 20 km dari Pematang Siantar ibukota Kabupaten Simalungun dahulu (sekarang ibukota Kabupaten Simalungun adalah Raya). Dari Raya hanya sekitar 10 km bila melalui jalan alternatif dari perkebunan Teh Sidamanik dan Marjandi. Akses transportasi sudah lumayan baik, angkutan umum banyak pilihan mulai dari mini bus, sampai bus 3/4 mirip Kopaja kalau di Jakarta. Sidamanik sekarang sudah bertambah maju seiring dengan sudah dimekarkannya kecamatan ini menjadi dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sidamanik dengan ibukotanya Sarimatondang, dan kecamatan Pematang Sidamanik dengan ibukotanya Tigaurung (sekitar 3 km dari Sarimatondang).
Kebanyakan penduduk di sini bermata pencaharian sebagai petani sawah dan tanaman keras, juga bekerja sebagai karyawan kebun teh, PNS dan pedagang di pasar kecamatan. Sidamanik adalah sebuah wilayah yang menurut saya luar biasa bahkan mungkin tidak semua daerah lain memiliki potensi seperti ini. Tanahnya subur, udara sejuk, Air melimpah, dikelilingi oleh pegunungan yang di sebelah Utara dikenal dengan pegunungan Dolok Simbolon, di sebelah selatan dikenal dengan pegunugan dolok Simanuk manuk dan di sebelah barat pegunungan Simarjarunjung. Sidamanik juga dikelilingi oleh perkebunan raksasa milik PTPN IV sebuah perkebunan milik negara, yang hasil komoditinya banyak diekspor ke luar negeri. Ada Teh, kakao, dan Kelapa Sawit. Dahulu waktu zaman penjajahan Belanda, Sidamanik adalah daerah perkebunan Teh terbesar di Sumatera. Di kecamatan ini berdiri 4 pabrik teh yang mempekerjakan ribuan karyawan antara lain Pabrik Teh Sidamanik, Bah Butong, Toba Sari, dan Bah Birong Ulu. Sayang setelah zaman reformasi dan privatisasi BUMN, kebun teh ini dimerger dengan kebun Bah Jambi yang memproduksi kelapa Sawit. Karyawannya sekarang banyak yang di PHK, pensiun dini, dan ada yang dipindahkan ke kebun lain di daerah Kerinci Riau. Dahulu kebun Teh banyak menyerap tenaga kerja pemetik Teh, sekarang untuk memetik Teh sudah mempergunakan mesin. Untuk menyemprot pupuk dan pembasmi hama sudah memakai mesin. Semua sudah serba mesin.
Tidak heran sekarang bila pasar Sidamanik (disebut pekan) tidak seramai dulu. Sidamanik satu satunya pasar di Kabupaten simalungun yang memiliki hari pekan 2 kali dalam seminggu, Jumat dan Minggu. Karena saat itu di perkebunan masih mengenal gajian kecil dan gajian besar yang membuat banyak karyawan kebun membelanjakan uangnya di pasar tersebut. Apalagi saat hari gajian besar, pasar Sidamanik akan tumpah ruah oleh karyawan kebun yang didominasi oleh etnis jawa.

Sidamanik memiliki satu akses jalan raya yang membentang membelah dua kecamatan. Jalan raya adalah batas kecamatan dengan daerah Panei Tongah. Tak heran bila masyarakat di Pangkalan Buntu sebelah timur Sidamanik saling berhadapan rumah tetapi beda kecamatan. Jalan raya Sidamanik yang menuju barat akan melalui desa desa kecil mulai dari Baharen (tanah kelahiran Bapak saya), Sinaman, Kebun Tobasari, Sait Buttu, Manik Saribu hingga tiba di persimpangan jalan alternatif Parapat dan Kabanjahe (tanah Karo). Jarak tempuh Sidamanik dan kota Parapat danau Toba (dahulu adalah tujuan wisata favorit bagi orang bule) hanya 1 jam perjalanan kurang lebih 40 km dengan aspal yang lumayan mulus.
Bicara tentang Parapat saat ini bikin hati jadi miris. Dulu sewaktu masih ada penerbangan langung dari Eropa ke Medan yang dilayani maskapai penerbangan KLM milik Belanda, kota Parapat tidak pernah sepi pengunjung baik domestik mapun luar negeri. Sekarang, mau cari bule saja susahnya minta ampun. Zaman waktu saya SMA para bule bule yang di Parapat adalah objek gratis untuk melatih kemampuan bahasa inggris kita. Tak heran dulu banyak menjamur les / kursus bahasa inggris di kota Pematang Siantar. Hotel hotel bertaraf Internasional yang banyak berdiri di Parapat lebih sering dipakai untuk acara pertemuan2 saja. Bahkan sudah ada yang mulai gulung tikar. Konon Hutomo mandala Putra (Tommy Suharto) juga punya hotel di sana namanya Hotel Niagara. Memang, di sana pernah dibuat pertemuan Gubernur se dunia yang katanya dihadiri juga oleh Arnold Schwarzeneger (gubernur California USA), yang tujuannya sekaligus memperkenalkan Parapat ke dunia Internasional.
Kembali ke Sidamanik, sekarang masyarakat di sana lagi senang senangnya menanam Kopi. Istilahnya menurut oarang orang di sana KOPI SIGALAR UTANG (Kopi Pembayar Hutang). Kenapa disebut begitu, karena Kopi ini adalah varietas baru yang mampu panen dalam waktu singkat, tidak seperti kopi Robusta zaman dulu. Perawatannya mudah, dan harganya juga lumayan bagus. Menunggu waktu panen, biasanya mereka membuat tanaman tumpang sari, dengan menanam Cabai atau sayuran di antara tanaman kopi. Sekarang kalau kita berkunjung ke daerah Sidamanik, ladang ladang penduduku akan penuh oleh tanaman kopi favorit ini. Selain tanaman Kopi, Sidamanik juga daerah lumbung beras di Simalungun, walaupun tidak sehebat daerah Panei Tongah ataupun Bandar Serbelawan. Kebetulan orang tua saya juga punya sepetak sawah di pinggiran kebun teh. Wah.. jadi ingat saya dengan Mamuro (menjaga padi) dari burung burung. Udara sejuk dan sepotong ubi bakar pasti selalu menjadi teman saya di sawah. Tak lupa juga madi di Bondar (sungai) di pinggir sawah telanjang bulat bersama kerbau milik teman.
Kebun teh juga sering menjadi tempat bermain saya sewaktu kecil. Asyiknya di sana adalah bisa bermain sepeda sepuasnya tanpa takut ketabrak kendaraan bermotor, mencari belalang, bermain petak umpet, dan mencari benalu teh yang berkhasiat untuk obat. Saya juga sering membantu orang tua mencari kayu bakar di sini. Dahulu penduduk Sidamanik selalu memanfaatkan ranting kayu Teh sebagai bahan bakar di dapur. Setiap waktu tertentu, tanaman teh selalu dipangkas agar tidak tinggi menjulang. Ini adalah saat yang tepat untuk marsoban (mencari kayu). Sambil mencari kayu kami juga tak lupa membawa bekal makanan dari rumah, bisa nasi dengan lauk seadanya, atau jagung rebus dan kacang. Hmmm nikmat bila dimakan di tengah kebun Teh yang sejuk, apalagi bila perginya ramai ramai dengan teman.
Sidamanik memang tak terlupakan, banyak hal yang bisa diingat, banyak tempat yang berkesan, dan banyak kejadian yang bisa diceritakan. Tunggulah, nanti akan kuceritakan lagi.

Mandi bersama sama dengan kerbau ("horbo" bahasa batak)
Hal yang tak akan bisa dialami oleh anak saya.










Batam, 7 Oktober 2008
Juli Abet Simbolon

Tanda Cinta

Blog ini awalnya didasari oleh rasa cinta dan kasih sayangku yang tak berbatas kepada "Forlini Sawittry" istriku, dan putraku seorang "my hero" Ananta Yehezkiel Asido Simbolon. Juga kepada semua orang orang yang tak pernah lelah untuk berjuang demi kebaikan. Bahwa untuk memulai sebuah kehidupan yang baru dibutuhkan doa, cinta, pengorbanan, dan perbuatan. Tidak pernah terbayangkan dalam perjalanan hidup saya, ternyata di usia yang sudah 3 dasawarsa, saya sudah memiliki harta yang paling berharga dalam hidup saya, istri yang baik, anak yang sehat dan pintar, keluarga yang bahagia, pekerjaan, teman teman yang begitu mengerti saya, dan masih banyak lagi hal hal yang membuatku semakin sujud syukur kepada pemilik otoritas dunia ini "TUHAN".
Kecintaanku terhadap budaya dan tanah kelahiranku, rasa ingin tahu yang besar terhadap segala rahasia Tuhan, latar belakang didikan orang tua yang membesarkanku, minatku yang besar terhadap perkembangan dunia luar, membuatku ingin menulis, melukiskan dan menumpahkannya disini. Akhirnya, semua didasari karena Cinta. Ya cintaku pada kebaikan.