Batam....
Sebuah pulau dan sebuah kota yang sangat dinamis di ujung semenanjung Malaysia. Berbatasan langsung dengan Negara termakmur di Asia "Singapore, juga dengan Kota Johor (Malaysia). Beruntunglah Indonesia punya pulau yang letaknya se strategis ini.
Dahulu, Batam bukanlah apa apa, bahkan namanyapun hampir tidak pernah disebut sebut dalam peta Indonesia, kecuali Pulau Bintan (Kota Tanjung Pinang) yang terletak di sebelahnya. Bintan memang pusat perhatian sejak zaman pra kemerdekaan dulu, karena dari sinilah dimulai sejarah pergolakan penjajahan eropah di semenanjung Malaysia, konflik kerajaan Melayu Malaka, Johor, Temasek(singapore) dan Bentan (Bintan). Dari Bintan pula bersumber bahasa persatuan kita "Bahasa Indonesia" yang terkenal dengan petuah bijak "Gurindam 12" yang diciptakan oleh Raja Ali Haji (Pahlawan Nasional Bapak Bahasa Indonesia).
Sedangkan Batam, dahulunya hanya sebuah pulau terasing yang hanya dihuni sekelompok kecil penduduk asli, yang daratannya masih dipenuhi oleh hutan belantara, dan hutan bakau yang lebat.
Batam adalah salah satu pulau yang berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Tidak ada literatur yang dapat menjadi rujukan dari mana nama Batam diambil. Satu-satunya sumber yang dengan jelas menyebutkan nama Batam dan masih dapat dijumpai sampai saat ini adalah Traktat London (1824).
Penduduk asli Pulau Batam diperkirakan adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan Orang Selat atau Orang Laut. Penduduk ini telah menempati wilayah Pulau Batam sejak zaman kerajaan Tumasik (sekarang menjadi Singapura) di penghujung abad ke-13. Dari catatan lain ditemukan kemungkinan Pulau Batam telah didiami oleh Orang Laut sejak tahun 231 M yang di zaman Tumasik disebut Pulau Ujung.
Pada masa jaya Kerajaan Malaka, Batam berada di bawah kekuasaan Laksamana Hang Tuah. Setelah Malaka jatuh kekuasaan atas kawasan Pulau Batam dipegang oleh Laksamana Hang Nadim yang berkedudukan di Bentan (sekarang menjadi Pulau Bintan). Ketika Hang Nadim menemui ajalnya, pulau ini berada di bawah kekuasaan Sultan Johor sampai pertengahan abad ke-18. Dengan hadirnya kerajaan di Riau Lingga dan terbentuknya jabatan Yang Dipertuan Muda Riau, maka Pulau Batam beserta pulau-pulau lainnya berada di bawah kekuasaan Yang Dipertuan Muda Riau sampai berakhirnya kerajaan Melayu Riau pada tahun 1911. Pada abad ke-18 Lord Minto dan Raffless dari Inggris melakukan barter dengan pemerintah Hindia Belanda sehingga Pulau Batam yang merupakan pulau kembar dengan Singapura diserahkan kepada pemerintah Belanda. Di abad ke-19, persaingan antara Inggris dan Belanda amat tajam dalam upaya menguasai perdagangan di perairan Selat Malaka. Bandar Singapura yang maju dengan pesat, menyebabkan Belanda berusaha dengan berbagai cara menguasai perdagangan melayu dan perdagangan lain yang melalui jalur itu. Akibatnya banyak pedagang menyusup ke Singapura secara sembunyi-sembunyi. Pulau Batam yang dekat dengan Singapura sering dimanfaatkan untuk berlindung dari gangguan patroli Belanda.
Sejak dua puluh tahun silam, pulau kecil Batam yang terletak di sebelah utara Kepulauan Riau, telah berkembang dengan sangat pesat di luar imajinasi orang. Sampai tahun 1970an bahkan sangat sedikit orang yang mengetahui keberadaannya.
Kebangkitan perkembangan ekonomi pulau tersebut dimulai sejak penggunaannya sebagai basis logistik dan penunjang eksplorasi sumber daya minyak dan gas oleh Pertamina, pada akhir tahun 1960an.Lokasi Batam yang strategis terletak pada jalur perdagangan internasional, menjanjikan masa depan yang cerah. Pulau Batam juga memiliki keunggulan karena terletak pada pusat Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura (IMS-GT). Sejak tahun 1978, dengan menurunnya industri perminyakan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengembangkan Pulau Batam sepenuhnya untuk mendapatkan potensi ekonomi sebesar-besarnya.
Di bawah kepemimpinan Prof. DR. Ing BJ Habibie, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, seluruh bagian Pulau Batam dinyatakan sebagai kawasan berikat, sehingga lebih memantapkan lagi kedudukannya sebagai daerah industri yang luas bertujuan ekspor.
Inilah Batam di abad 21 ini...
Perkembangannya sangat luar biasa, bahkan sampai ada yang mengatakan, bila 1 bulan saja kita meninggalkan Batam, dijamin nyasar saat kita kembali lagi. Memang, daya tarik Batam sangat luar biasa. Dahulu di tahun 90- an, batam dikenal sebagai pulau Dollar, mengingat betapa mudahnya orang orang dari seluruh penjuru negeri memperoleh pekerjaan yang layak. Barang elektronik begitu murah, mobil merk apapun bisa didapat. Fashion model terbaru pasti ada.
Sampai kepada tahun 2000 an, Batam tak lagi seindah yang diceritakan orang. Pekerjaan semakin sulit di dapat, banyak investor yang gulung tikar, kawasan industri semakin sepi. Sejak penerapan pajak (Bea barang Masuk), semua kemudahan memperoleh barang elektronik, mobil, pakaian, minuman beralkohol semakin ditiadakan.
Sekarang, Batam menggeliat lagi, menjadi corong pertumbuhan ekonomi di negara ini. Investor mulai banyak berdatangan menyambut hangat FTZ ini, tak tanggung tanggung hampir 200 trilliun di investasikan di kawasan ini. Salah satu yang bisa dilihat adalah Mega wisata Ocarina yang terletak di dalam kawasan perumahan prestisius "Coastarina" Batam Centre. Proyek ini dikembangkan oleh Arsikon Group, salah satu pengembang terkemuka di Pulau Batam, yang juga sekaligus kompetitor perusahaan tempat saya bekerja "Cipta Group Developer Property".
Saya pribadi sangat mengapresiasi sepak terjang Arsikon Group ini. Mudah mudahan akan semakin banyak investor property yang mau dan mampu menciptakan Batam, sebagai kota termodern di Indonesia.
Pesan saya....
Ayo kunjungi Batam, Bila Anda Tabah Anda Menang.
Batam Island, 26 Januari 2009
Juli Abet Simbolon