Satu yang terlintas dipikiran bila mendengar kalimat ini, pasti kepada pasangan Calon Presiden SBY Budiono. Anakku Kie bahkan sampai hafal iklan kampanyenya, dan sangat bersemangat berteriak "lanjutkan". Memang iklan ini cepat terserap pikiran semua golongan umur. Selain karena lagu jingle nya sudah akrab di telinga (jingle mie instan), gambar yang menarik, & yang pasti slogannya singkat dan gampang di ingat. Anak kecilpun bisa ingat.
Kalau dibandingkan dengan iklan Capres lain, anak saya tak bisa ingat, mungkin karena terlalu rumit atau penyampaiannya yang terlalu berat, jadi anak saya nggak bisa nangkap. Pengaruh iklan terhadap image sebuah produk memang luar biasa. Tak heran seorang Philip Kotler begitu menitik beratkan point ini dalam teori 4P nya.
Iklan personal brand capres umumnya berisikan pesan-pesan yang disusun rapi dan terstruktur. Komunikasi mencakup aspek-aspek hebat dan fantastis tentang pemilik brand disampaikan dalam bentuk iklan elektronik dan cetak, termasuk billboard yang dipasang di jalan-jalan. Bentuk komunikasi ini disebut dengan istilah controllable communication, artinya pesan tentang brand dibentuk dan dikendalikan oleh pemilik brand nya (brand owner) langsung.
Persoalannya, belum tentu publik setuju dengan pesan-pesan polesan pencitraan tersebut. Apalagi jika pesan yang diangkat tidak cocok, tidak relevan dan cenderung bombastis. Contohnya adalah tema tokoh patriotik, pembela petani, peduli rakyat miskin, ahli dalam menyelesaikan semua persoalan bangsa, dll. Pesan-pesan yang tidak membumi ini yang biasanya justru memicu gencarnya serangan balik suara masyarakat Intelektual yang semakin kritis mempertanyakan dan menantang kebenaran dan relevansi komunikasi model ini. Bagi saya, fenomena publik yang kritis ini sangat melegakan, untuk menjaga keseimbangan informasi. Komunikasi dari brand owner (saja) bisa menyesatkan karena kentalnya kepentingan.
Persoalannya, belum tentu publik setuju dengan pesan-pesan polesan pencitraan tersebut. Apalagi jika pesan yang diangkat tidak cocok, tidak relevan dan cenderung bombastis. Contohnya adalah tema tokoh patriotik, pembela petani, peduli rakyat miskin, ahli dalam menyelesaikan semua persoalan bangsa, dll. Pesan-pesan yang tidak membumi ini yang biasanya justru memicu gencarnya serangan balik suara masyarakat Intelektual yang semakin kritis mempertanyakan dan menantang kebenaran dan relevansi komunikasi model ini. Bagi saya, fenomena publik yang kritis ini sangat melegakan, untuk menjaga keseimbangan informasi. Komunikasi dari brand owner (saja) bisa menyesatkan karena kentalnya kepentingan.
Sebenarnya, sudah sejak lama media konvensional seperti TV, koran, dan majalah menyediakan ruangan untuk tanggapan publik. Di acara TV dan radio kita kenal program-program interaktif dimana melalui telpon, publik bisa ikut berdialog. Di koran dan majalah, ada rubrik surat pembaca. Masalahnya, selain sangat terbatas tempat dan waktunya - di mata publik, media konvensional dikenal sarat muatan kepentingan golongan tertentu (pemerintah atau partai tertentu). Diduga ada banyak proses sensor dan seleksi sebelum pesan publik dimuat.
Alternatifnya, dengan kemudahan teknologi informasi/komunikasi, tersedia bentuk media baru (new media) yang lebih cepat, lebih bebas dan lebih leluasa untuk menampung suara publik. Melalui Internet, publik bisa menulis apa saja dalam wadah websites, personal blogs, e-forum, mailing list dan social networking media lainnya seperti Facebook dan YouTube, dll. Disini tidak ada batasan halaman, seseorang bisa menuliskan berlembar-lembar komentar kalau mau dan sanggup. Dan yang lebih penting lagi, praktis tidak ada sensor! Di media ini, yang pegang kendali isi komunikasi bukan pemilik brand lagi. Kendali dipegang oleh publik langsung. Karenanya dalam komunikasi pemasaran, media ini disebut dengan uncontrollable media. Istilah lainnya adalah Consumer Generated Media (CGM), yaitu media yang dibentuk dan dikontrol sendiri oleh konsumen (untuk konteks politik, konsumen analogi dengan publik)
Pemilik brand boleh saja mengatakan bahwa tulisan yang ada di dalam new media cenderung ngawur, tidak berbobot atau asal-asalan. Beberapa akademisi bahkan tidak menyarankan sitasi referensi dari CGM untuk tulisan ilmiah karena dianggap tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi, dilihat dari perspektif lain, hasil akhir sebuah komunikasi adalah persepsi yang terbentuk tentang brand. Persepsi didorong dari sumber-sumber komunikasi yang menurut audiensnya lebih meyakinkan, lebih kredibel. CGM ini menduduki peringkat kepercayaan (believability) yang jauh lebih tinggi dibanding iklan komunikasi biasa. Suara publik dinilai lebih independen dan tanpa pretensi.
Membicarakan citra sama halnya dengan pekerjaan bagaimana anda membangun image atau persepsi seseorang dibenak khalayak. Image adalah persepsi yang paling menonjol. Kandidat yang memiliki citra baik dimata masyarakat, serta program-program yang ditawarkan lebih jelas dan tidak muluk-muluk relatif lebih bisa diterima oleh masyarakat ketimbang kandidat yang menjanjikan janji-janji besar namun dalam realisasinya nol besar. Ada juga kandidat yang berapi-api dalam menyampaikan gagasannya tentang perbaikan negara Indonesia ke depan namun dalam pengalamannya sebagai Presiden pun ia ‘Gatot’ alias gagal total.
Dalam konteks iklan politik, citra bisa dibuat sedemikian rupa. Citra kandidat yang sebelumnya tidak baik bisa menjadi baik. Namun sejatinya citra tidak bisa direkayasa. Citra positif akan terbentuk jika dalam pelakasanaannya ia bekerja keras merealisasikan janji-janjinya sehingga hal iti yang akan mengangkat namanya kelak. Namun karena kecanggihan para konsultan pencitraan, iklan yang ditampilkan benar-benar bisa membalik semuanya. Citra dibentuk oleh para konsultan pencitraan sehingga komunikasi dan penyampaian program-program kandidat bisa tersampaikan kepada calon pemilih. Program kandidat merupakan salah satu kunci penting untuk mendapat citra yang positif. Persoalannya, sejauh mana efektivitas iklan politik dalam menggamit suara masyarakat?